Saturday, November 15, 2008

Semuanya Telah Diperkirakan (Para Penipu Yang Tertipu)

Tatkala Gubernur Irwandi dengan sokmok (kalap) menuduh Komite Persiapan Acheh Merdeka Demokratik di balik aksi kekerasan di Acheh, kita pun dipahamkan bahwasanya posisi beliau sedang terjepit.


Terjepit karena kekuasaan yang ia miliki sangatlah terbatas. Jangankan untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Acheh, untuk mengecilkan peran serdadu kolonial di sana saja ia tak mampu. Apalagi disuruh
menyelamatkan penduduknya atau menyempurnakan UUPA. Bahkan yang paling kecil, untuk menjaga kelestarian alam sekitar, khususnya pencegahan penebangan liar, itu tak berhasil. Moratorium Logging yang ia umumkan di awal pemerintahannya, kini telah senyap ditelan raungan mesin gergajirantai (chainsaw).

Belum lama ini, bekas komandan Kopassus, satuan serdadu TNI yang terkenal bejat dan telah membunuh beribu bangsa Acheh, telah diangkat menjadi Panglima serdadu di sana. Dengan demikian, maka sahlah jika disebut Acheh masih belum terbebas dari pengaruh operasi militer, dan pengangkatan panglima serdadu baru tersebut adalah usaha tahap awal TNI untuk melebarkan kekuatannya dalam usaha merancang operasi militer yang lebih besar di bumi rencong.

Lalu untuk menutupi fakta operasi militer yang akan meresahkan rakyat tersebut, Irwandi Yusuf dengan cepat mengalihkan perhatian massa, yakni dengan menuduh pihak lain sebagai pemicu konflik. Tapi kita percaya, rakyat tak akan mudah ditipu oleh penipu yang telah tertipu.

Saya pribadi telah menjangka keadaan semacam ini akan berlaku, ketika usaha untuk memakmurkan rakyat dalam bingkai hukum penjajah hanyalah impian. Kini terbukti perkiraan itu tidak meleset. Irwandi Yusuf yang dianggap sebagai kepala 'Pemerintah Acheh', dengan kelakuan dan keputusasaannya saat ini lebih tepat disebut sebagai Gubernur Jenderal Indonesia di Acheh. Tak lebih sebagai tali barut kolonial belaka.

Di bawah ini adalah artikel yang memperkirakan kegagalan tersebut yang saya tulis pada tahun 2006 lalu, disiarkan oleh koran Acheh Kita. Silakan saudara baca kembali untuk bahan renungan, agar tak terjatuh ke lobang yang sama di kemudian hari.

Pil Kada, Pil Pahit, Pil Majapahit

PARA peniup serunee kalee bersama penabuh rapa’i semakin menggencarkan frekuensi rentaknya, mengiringi dendang para propagandis yang melantunkan hikayat ular untuk menidurkan rakyat dari kenyataan, yaitu dengan menghadirkan beragam mimpi baru mereka.



"...proses peradilan HAM sepertinya coba ditenggalamkan oleh ketiga pihak baik itu AMM, Indonesia maupun GAM. Kesemua persoalan tersebut adalah magma yang menggumpal dalam kubah gunung api yang ledakannya tinggal menghitung hari"





Sementara di luar sana, di dalam realiti bermacam persoalan masih terus meruncing. Pertama, terkait masalah pembangunan kembali Acheh dari dampak bencana tsunami yang sudah berjalan hampir dua tahun, mau pun hal pengelolaan bantuan internasional yang masih pada tingkat mengecewakan.

Kedua, adalah persoalan yang menyangkut penerapan MoU Helsinki. Permasalahan akan semakin rumit apabila AMM meninggalkan Aceh bulan depan. Persoalan re-integrasi itu mencakup para clandestine dan bekas kombatan, UUPA yang jauh dari MoU, amnesti yang masih tersisa, rehabilitasi korban perang dan kejahatan kolonial dan impuniti.

Terakhir yang teramat penting adalah proses peradilan HAM, yang sepertinya coba ditenggalamkan oleh ketiga pihak baik itu AMM, Indonesia maupun GAM. Kesemua persoalan tersebut adalah magma yang menggumpal dalam kubah gunung api yang ledakannya tinggal menghitung hari.
••
Kembali ke persoalan Pil Kada, begitu hausnya keinginan di antara banyak pihak tersebut untuk menjadi Viceroys (baca: para representative kolonial), maka pelbagai persoalan kritikal yang seharusnya menjadi perhatian semua pihak pada saat ini merasa perlu dikesampingkan untuk sementara waktu. Bahkan di kalangan GAM oligarki, yang pada dasarnya adalah salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam memperjuangkan perwujudan pemerintahan sendiri (baca: otonomi) seperti mereka janjikan kepada rakyat, saat ini cenderung tak ambil peduli. Kerangka hukum, yang katanya, menjadi suatu jaminan di mana rakyat Aceh dapat hidup damai dan berkuasa atas tanah sendiri lewat UUPA dibiarkan dalam keadaan tidak menentu.

Mereka lebih sibuk menopang para kandidat viceroy-nya, dan berkeyakinan atau setidaknya dapat meyakinkan rakyat jelata jika dari kalangan mereka kelak terpilih menjadi tuan Demang, maka segala persoalan yang melilit rakyat akan segera sirna oleh kekuatan politik magik yang mereka miliki nantinya.

Tetapi di sebalik itu, ada pihak yang berpendapat bahwa kegagalan oligarki GAM untuk menyelamatkan draft UUPA dari guntingan pihak kolonial adalah disebabkan oleh sebagian besar elit kelompok itu telah terjual dari awalnya. Celakanya lagi, ketika penyaluran dana integrasi tersumbat—yang mungkin disengaja ataupun menguap— maka rasa tidak puas dari bekas sipil dan prajurit GAM di tingkat bawahan, telah memutuskan garis komando. Sehingga di mata Jakarta, yang tersisa dari kelompok elit oligarki tadi adalah para singa tua tak bergigi yang sudah tidak pantas lagi untuk dihidangkan daging segar.

Akibat dari situasi ini, maka terjadilah kompromi politik yang lebih layak disebut suatu kolaborasi untuk tidak mempersoalkan peradilan HAM, atau meneruskan penyempurnaan UUPA. Jadi solusi ini dianggap yang terbaik oleh kedua pihak. Di mana pihak kolonial dapat terhindar dari kehilangan porsi kekuasaannya yang besar terhadap Acheh dan berhasil melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai pelaku kejahatan kemanusian yang telah mengorbankan ribuan jiwa rakyat Acheh. Sementara itu di lain pihak, para elit oligarki GAM melalui kolaborasi ini menyangka dapat terhindar dari keruntuhan kredibilitas, sehingga dapat terus menggenggam kuasa oligarkinya, meskipun pada hakikatnya, kekuatan mereka yang sebenarnya telahpun sirna.

*

"Masih juga terdengar di perkampungan seantero Acheh di mana mimpi terus dirajut, yang membuat banyak Do Kaha terhanyut dalam kepulan asap rukok ôn dan aroma kopi pancông. Setelah jargon tinggal sebatang rokok serta platform otonomi atau self-government gaya Hongkong tak kunjung menjadi kenyataan"

"



Masih juga terdengar di perkampungan seantero Acheh di mana mimpi terus dirajut, yang membuat banyak Do Kaha terhanyut dalam kepulan asap rukok ôn dan aroma kopi pancông. Setelah jargon tinggal sebatang rokok serta platform otonomi atau self-government gaya Hongkong tak kunjung menjadi kenyataan. Rakyat belum sempat bertanya di mana logika “projek 2009” itu akan berhasil, pihak yang mengaku pemimpin kaum pejuang tersebut dengan lantang bersabda: Wahai bangsaku yang tercinta, marilah kita telan Pil KADA yang sudah tersedia di depan mata, sambil kita menanti kehadiran partai lokal yang akan membawa kita ke tangga kebebasan!

Adakah rakyat Acheh percaya dengan pernyataan kalimat-kalimat bersayap yang memberi harap untuk suatu perubahan kelak? Saya dipahami di mana rakyat dan generasi muda Acheh yang dibesarkan dengan fakta politik golongan dan parsial, sudah ditempa oleh suatu kondisi yang membuat mereka cenderung peka dalam melihat masalah. Tetapi di sana ada pihak yang masih menyimpan harap semoga saja penyakit mereka akan reda setelah meminum salah satu jenis dari Pil Kada itu. Dan tentu saja akan ada pihak yang dipaksa meneguk Pil yang sejauh ini kelihatannya lebih banyak kadar pahit daripada mujarab.
••
Adapun yang menjadi sumber keraguan banyak pihak di Acheh, adalah dengan hadirnya para calon independen, yang sebagian mereka mengaku sebagai pejuang hak-hak rakyat dan tanah Aceh. Meskipun banyak di antara mereka adalah kaum oportunis yang selalu mencari celah untuk meraih kekuasaan dengan pemanfaatan momentum yang tepat. Ada juga kalangan bunglon yang warna politik dan komitmennya selalu dapat disesuaikan dengan warna politik penguasa di mana mereka menghidupkan dirinya. Serta kalangan yang pernah terlibat aktif dalam pergerakan kemerdekaan, tetapi akhirnya terkontaminasi dengan kekuasaan ketika mereka naik derajatnya dari aktivis ke tingkat elit politik.

Namun yang perlu di ingat, siapa saja yang di antara para kandidat dalam Pil Kada ini, pada hakikatnya adalah tidak akan mampu membawa perubahan terhadap rakyat Aceh. Sepenjang sistem yang akan mereka masuki adalah sebuah sistem kolonial dengan bungkus yang selalu diperbaharui.

Dengan kata lain, sistem tersebut adalah tak sama, perihal nama dan beberapa pasal yang coba ditulis dengan perkataan baru, tetapi secara keseluruhan, produk baru itu adalah sama dalam hal kewenangan seorang Viceroy yakni sebagai representative pusat kolonial yang dalam hal ini menjalankan perintah dari Tuan Menteri Dalam Negeri. Belum lagi jika kita tinjau dari sudut kepentingan sebuah daerah yang meskipun memiliki status hukum yang khas, tapi dapat diinjak atau ditiadakan jika berhadapan dengan klaim kepentingan nasional. Di sini, demokrasi dipakai oleh elite kolonial untuk melegalkan penindasan hak kelompok atas nama kepentingan bersama. Sudah tentu di Negara seperti Indonesia, kepentingan bersama itu sebenarnya itu adalah kepentingan gerombolan penguasa belaka.

*

"Rakyat belum sempat bertanya di mana logika “projek 2009” itu akan berhasil. Pihak yang mengaku pemimpin kaum pejuang tersebut dengan lantang bersabda: Wahai bangsaku yang tercinta, marilah kita telan Pil KADA yang sudah tersedia di depan mata, sambil kita menanti kehadiran partai lokal yang akan membawa kita ke tangga kebebasan!

"


••

Atas dasar itulah, maka saya perlu mengambi penuturan seorang kawan, yang menurutnya di masa lalu kita juga pernah punya beberapa gubernur yang dari sudut kemampuan intelektual, ketokohan, keimanan dan kerakyatan mereka jauh lebih baik dibandingkan para kandidat sekarang, sebut saja beberapa nama seperti Tgk. Daud Beureueh, Muzakir Walad, Majid Ibrahim dan Syamsuddin Mahmud. Akan tetapi di masa kekuasaan mereka, tidak ada suatu kesejahteraan yang dapat lahirkan. Penyebabnya adalah independensi mereka dalam menjalankan kepemimpinannya selalu dibatasi oleh tangan pusat kolonial, di samping juga adanya benturan (clash) antara kepentingan pusat dan daerah.

Oleh sebab itu, berdasarkan keseluruhan analisa di atas, sebaiknya rakyat Acheh lebih memfokuskan pada penganggalangan civil force untuk suatu kelanjutan resistansi perjuangan di masa mendatang, daripada terlalu berharap pada kemujaraban Pil Kada, yang tidak lain adalah butiran Pil Pahit bagi mereka. Lebih berbahaya lagi jika itu adalah Pil Majapahit, yang jika tertelan maka kekuatan kolonialisasi bukan hanya akan berhasil mengontrol kehidupan politik, tapi akan membuka lapangan untuk menempatkan seluruh sendi kehidupan rakyat Acheh sebagai objek kekuasaan yang tanpa batas.
*Penulis adalah mahasiswa di The New School University, New York.

Alkisah Irwandi Yusuf dan Lampu Aladin

Entah apa yang terlintas di benaknya ketika itu, sehingga beberapa waktu lalu Demang Ibrahim Hasan, eh salah, Irwandi Yusuf, terjaga dari khayalan hikayat 1001 malam.


”Merubah Acheh tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena kita bukan Aladin dengan lampu wasiatnya, semuanya butuh proses dan waktu,” kata sang Demang.

Pengakuannya itu menunjukkan jikalau ia sudah terjaga dari lamunan panjangnya selama ini. Tapi sayang, ia baru menyadari yang sebenarnya dia tidak sedang menjadi seorang Aladin yang melayang di angkasa dengan permadani terbang, sewaktu rakyat telah dilelapkan dengan mimpi menaiki kapal self-government. Dulu ia bercerita kapal self-government itu laksana kapal luar angkasa Enterprise yang kita lihat di film Star Trek, dan ia adalah kapten yang akan membawa rakyat Acheh menjelajah jagad raya dengan bebas lepas. Kini diakui atau tidak kapal self-government itu hanya terkurung di dalam kolam yang kecil yang dibatasi oleh ranjau yang di pasang pihak kolonial Indonesia.

Irwandi Yusuf dan GAM oligarkhi memang tak pernah berhenti menghadirkan khayal di atas khayal, imitasi di atas imitasi atau copy di atas copy, yang dikenal dengan simulacra (baca: simulakra) dalam theori Jean Baudrillard.

Konsep tersebut sering digunakan oleh rejim yang tidak jujur dalam memerintah, yang bertujuan untuk mengaburkan perasaan rakyat antara kenyataan dan impian atau antara sesuatu yang benar dengan yang tidak. Sehingga rakyat hilang keseimbangan berpikir, serta kehilangan titik sadar. Pada akhirnya mengaburkan sasaran kritik mereka terhadap rejim yang gagal, dan musnah pula kepekaan mereka terhadap ancaman sebenarnya yang sedang mereka hadapi.

Para bekas presiden bahkan presiden indonesia sekarang selalu membandingkan kualiti pemerintahan dan tingkat kesejahteraan rakyat di wilayah pendudukan indonesia dengan berbagai negara yang lebih miskin dengan kekayaan alam yang sangat minim. Perbandingan itu bertujuan agar membuat rakyat di nusantara hilang kesadaraan akan kekayaan yang mereka miliki, sehingga rakyat menerima dan pasrah pada keadaan serta terlena dengan kesusahan yang mereka derita.

Adalah suatu keanehan bila kita membandingkan wilayah Nusantara dengan Afrika atau negara Haiti yang saat ini terpaksa memakan roti yang terbuat dari tanah liat. Kita mempunyai cukup sumber energi dan makanan untuk diolah, sedangkan sumber alam Negara tersebut relatif terbatas.

Namun tak pernah sekalipun terdengar para penguasa berani membandingkan tingkat kemakmuran rakyat Acheh atau penduduk di berbagai tempat di Nusantara dengan negara makmur seperti Norwegia, yang permukaan tanahnya dipenuhi gunung batu dan salju di musim dingin. Ini tidak akan terjadi, karena mengambil perbandingan sedemikian rupa adalah sama dengan menelanjangkan kebodohan pihak penguasa di hadapan rakyat.

Begitupun dengan Viceroy Irwandi, sebagaimana pernyataannya di atas, semua pun tahu ia hanyalah seorang dokter hewan dan manusia biasa, meskipun di masa pemilihan dulu ia mengaku sebagai Hercules atau Aladin yang akan merubah Acheh dengan kuasa gaibnya. Malah sekiranya ia adalah manusia yang luar biasa sekalipun, baik dari segi manajemen kepemimpinan maupun tingkat IQ, juga akan bernasib sama dengan bekas para Gubernur Jenderal yang pernah berkuasa di Acheh dulu. Sebab mereka telah digagalkan oleh sistem pemerintahan carut-marut kolonial Indonesia. Sistem yang tidak berubah sampai sekarang, sekalipun itu dinamakan Pemerintah Acheh dengan balutan self-government.

Takziah Untuk Almarhum Teungku Ridwan Haji Mukhtar

Komite Persiapan Acheh Merdeka Demokratik
(Komité Peukeumah Atjeh Merdehka Demokratik)

Sekretariat:
Kutaradja, Acheh
New York, United States
Stockholm, Scandinavia
committee@freeacheh.info www.freeacheh.info

Takziah Untuk Almarhum Teungku Ridwan Haji Mukhtar

Bismillahirrahmanirrahim
Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun

Bangsa dan Rakyat Acheh kembali kehilangan salah seorang pejuang demokrasi, hak asasi manusia dan hak penentuan nasib sendiri (self-determination). Beliau adalah Almarhum Tgk. Ridwan Haji Mukhtar, yang telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada 4hb Agustus 2008 di Kutaradja.

Komite mengirimkan rangkaian Al-Fatihah dan ucapan Selamat Jalan untuk Almarhum, semoga arwah beliau mendapat tempat yang paling layak di alam kekal. Dukacita yang terdalam turut Kami hantarkan kepada seluruh keluarga dan handai taulan Almarhum yang ditinggalkan.

Kepergian Almarhum mengingatkan kita betapa banyak dari para pejuang dan putera-puteri terbaik tanah rencong yang telah meninggalkan kita di dalam usia yang masih muda. Baik mereka yang dibunuh oleh pendudukan Indonesia dalam perang Acheh terakhir, seperti Almarhum Musliadi, Djafar Siddiq Hamzah, Tgk Alkamal, Ishak Daud dan sejumlah tokoh muda penting lainnya, dan tak lupa pula mereka yang berpulang di masa Tsunami. Oleh karena itu, bagi suatu bangsa yang ingin hidup maju dan bermartabat, kita yang ditinggalkan perlu melahirkan generasi penerus perjuangan, yang senantiasa bercermin kepada sikap dan kepribadian para pahlawan bangsa yang telah tiada.

Komite mengetahui dengan seksama yang mana Almarhum telah menyumbangkan segalanya untuk perjuangan rakyat Acheh sejak revolusi 1998 lalu, ketika beliau menempuh segala resiko untuk menyuarakan amanat referendum dengan damai. Almarhum Tgk Ridwan telah berjuang tak kenal lelah untuk bangsa yang dicintai, dengan jujur dan bijaksana. Serta memegang teguh pada prinsip dan harga diri. Semoga kesan dari perjuangan dan kehidupan beliau yang sederhana, menjadi tauladan bagi kita semua, sekaligus terpahat sebagai kenangan abadi di hati seluruh putera-puteri bangsa Acheh.

Akhir kata, kami ucapkan selamat jalan Teungku Ridwan, selamat jalan sang Pahlawan.

New York, 05 Agustus 2008
Atasnama seluruh anggota Komite

Eddy L Suheri
Jurubicara

Congress Demands Action on West Papua Political Prisoners as Human Rights Violations Persist

The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) today congratulated U.S. congressmembers for their letter to Indonesian president, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono urging him to work for the “immediate and unconditional” release of West Papuan political prisoners Filep Karma and Yusak Pakage.


“We are pleased that Congress is taking this important stand for human rights in Indonesia. Karma and Pakage have been in prison for three and half long years for merely exercising their right of political expression. We hope the letter coupled with increasing pressure from the human rights community will gain their release,” said Tom Ricker, advocacy coordinator for ETAN

The letter was signed by 40 members of the U.S. House of Representatives. The letter with a complete list of signers can be found online at http://etan.org/news/2008/08poc.htm .

Karma and Pakage are serving 10 and 15 years respectively for raising the Morning Star flag during a peaceful protest in December of 2004 in Jayapura, Papua. Karma and other participants in the protest were beaten by Indonesian police. Karma and Pakage were sentenced in May 2005 and have been in prison since. Amnesty International has declared Karma and Pakage to be prisoners of conscience.

The letter also points to the deteriorating human right situation in Papua: “The unjust imprisonment of Mr. Karma and Mr. Pakage occurs in the context of a crackdown on Papuan human rights defenders, which has included general public threats by senior military officials and intimidation directed at individuals by anonymous figures.”

“This letter from Congress comes at a crucial time. Peaceful protesters continue to be arrested in West Papua. Just two weeks ago nearly 40 people were arrested for demonstrating. Six of the organizers now face the same prison terms as Karma and Pakage,” said Ricker.

“The U.S. government has once again become a major supplier of military assistance to Indonesia despite the deteriorating circumstances in West Papua. We hope this action by members of Congress signals a renewed willingness to promote respect for human rights as a condition of any future assistance,” he added.

The congressional letter was coordinated by Rep. Patrick Kennedy (D-RI)

ETAN was formed in 1991. The U.S.-based organization advocates for democracy, justice and human rights for Timor-Leste and Indonesia. For more information, see ETAN's web site: http://www.etan.org.

Contact: Tom Ricker, 301-922-8909
John M. Miller, 718-596-7668

Ketika wartawan di-RUMAH-kan

Ada yang menarik dari berita Modus Acheh edisi pertama bulan ini. Katanya, sebagian wartawan PWI akan menerima rumah kedua mereka dari BRR. Setelah sebelumnya mendapatkan rumah bantuan dari organisasi lain.

Saya angkat salut kepada redaksi media itu yang berusaha menguak prilaku hedonistik para pengurus PWI dengan maksud ingin 'mengolah' dana BRR untuk anggotanya. Mungkin karena itu pula banyak wartawan yang tetap bersetia kepada PWI. Daripada menjadi anggota persatuan journalis lain, seperti AJI misalnya, yang lebih bersih dan independen. Bahkan kalau dikaji lebih dalam, wartawan di masa ini semestinya menjauhi PWI. Karena organisasi itu adalah underbow rejim Orde Baru Soeharto untuk mengekang kebebasan media dan journalis.

Masalah yang disorot Modus adalah sangat penting, mempersoalkan antara yang berhak dengan yang tidak. Jika mereka itu korban tsunami yang rumah mereka hancur diterjang gempa dan gelombang dahsyat waktu itu, maka seperti para korban lainnya mereka sangat berhak mendapatkan bantuan BRR. Tapi perlu diingat, ianya tidak boleh melebihi hak mereka, karena masih banyak rakyat jelata yang lebih susah daripada sang wartawan yang punya penghasilan.

Selanjutnya, apakah para journalis PWI yang sebelum tsunami dulu adalah penyewa sekarang perlu diberi kepemilikan rumah dari dana BRR? Tentu saja tidak dengan dana BRR yang peruntukannya lebih kepada untuk membiayai pembangunan kembali pemilik rumah yang terkorban. Akan tetapi, sekiranya organisasi itu ingin membantu anggotanya yang belum punya rumah dan mereka memang tidak punya rumah sebelum tsunami, adalah sah saja. Sepanjang dana yang digunakan itu milik organisasi tersebut. Bukan dengan mengambil jatah mereka yang lebih berhak untuk membantu kelompoknya sendiri. Apalagi dengan menggunakan pengaruh atau kuasa. Selain melanggar hukum, di sini persoalan moral menjadi rujukan penting, dan kita tahu jika seseorang insan press itu memenuhi syarat untuk dipanggil journalis atau wartawan, adalah mereka yang memiliki moral integriti. Kealpaan moral akan meragukan kredibiliti hasil karya journalistik yang mereka sampaikan.

Mengenang masalah moral dan kewibawaan PWI adalah suatu perkara penyalahgunaan pengaruh dan kuasa yang berkepanjangan. Dulu kita dipahamkan para pengurus dan anggota sering menerima 'jatah' sosial dari PEMDA untuk hari meugang dan hari raya, serta berbagai bantuan kesejahteraan. Menjadi pertanyaan di sini apakah anggota PWI itu bekerja untuk PEMDA? Jika tidak, kenapa mereka perlu diberikan bantuan dari dana daerah? Bukan hanya itu, untuk operasional, bangunan dan musyawarah organisasi juga menggunakan fasiliti milik pemerintah daerah. Sedangkan di Acheh masih sangat banyak fakir miskin dan para anak terlantar yang lebih berhak menerima dana daerah.

BRR dalam perkara ini dapat disebut sedang menjalankan suatu kolusi untuk meredam para wartawan dari organisasi itu. Dengan demikian, maka tak ada lagi laporan miring tentang kinerja pengelola uang 'takziah' rakyat Acheh tersebut. Karena wartawan PWI akan 'dirumahkan' oleh mereka.

Namun yang menggelikan adalah jawaban ketua PWI Acheh kepada journalis Modus. "Jika anda orang Aceh, saya juga orang Aceh. Inikan kita sudah di bantu oleh orang. Sudah dibantu, kita ganggu lagi. Kalau begini, maka Aceh tak akan aman." Kata Dahlan TH seperti dikutip Modus.

Selain menggelikan bin membingungkan, ianya juga mengingatkan kita bahwa 'kureng' PWI Orde Baru masih melekat pada diri ketuanya. Seperti kebijakan PWI yang selalu menutup transparansi press untuk persoalan penting yang harus diketahui publik, yaitu dengan menciptakan berbagai alasan yang tak masuk akal. Apa kena mengena antara membuka perkara korupsi dengan keamanan Acheh? Mungkin yang tidak aman itu adalah pengurus PWI dan anggotanya yang akan menerima rumah kedua, atau yang tidak berhak menerima sama sekali. Itu sangat beralasan, karena rakyat Acheh akan mengetahui para anggota PWI tersebut telah merampok hak mereka, lalu rakyat akan menyita rumah-rumah itu untuk mereka jadikan balai musyawarah atau pusat komuniti.

Rekan Dahlan! bantuan rumah itu bukan dibantu orang seperti yang anda sebutkan, tetapi oleh BRR yang mengelola uang bantuan korban tsunami. Orang siapa yang anda maksud? Kuntoro? Saya tak yakin kalau tuan PiKun itu rela mengeluarkan uang pribadinya untuk membangun rumah wartawan. Malah ia sendiri menerima gaji yang sangat besar dari BRR tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Persoalan penyalahgunaan bantuan BRR bukan yang pertama kali, kalau media mahu lebih jujur kita akan terpana melihat betapa uang hak milik korban dirampas oleh para begundal. Dari mulai pegawai negeri sampai ke militer. Berapa banyak asrama dan fasiliti militer di seluruh Acheh dibangun dengan dana BRR. Bahkan untuk membeli senjata TNI sekalipun diraup dari uang takziah. Padahal kekuatan militer itulah yang menutup pintu Acheh kepada bantuan global sampai tiga hari setelah tsunami, yang akhirnya terpaksa dibuka setelah mendapat tekanan internasional komuniti.

Situasi Acheh saat ini membutuhkan transparansi untuk meningkatkan taraf demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Di mana journalis adalah ujung tombak dalam projek ini. Sungguh merupakan petaka jika mereka yang diharapkan bermoral tinggi untuk aktiv dalam misi kontrol sosial akhirnya banyak yang menjadi pihak yang terlibat dalam transaksi moral dan terkena penyakit asosial.

Aceh restoration 'close to zero'

Tuesday, May 10, 2005

Tens of thousands of Acehnese remain homelessThe Indonesian official co-ordinating the recovery oftsunami-hit Aceh has said reconstruction there hashardly begun, five months after the disaster.Kuntoro Mangkusubroto said he was shocked at howlittle had been done for almost 600,000 survivors wholost their homes on 26 December 2004.Indonesia had been too slow to set up the agency heheads, and $5bn (£2.7bn) in aid had not beendisbursed, he said.Mr Mangkusubroto said bureaucracy might delay themoney for four more months.'No roads or bridges'Mr Mangkusubroto told reporters that while somerehabilitation work had been done, it was "close tozero".There is not enough food for the kidsKuntoro MangkusubrotoReconstruction co-ordinator"Roads? There are no roads being built. Bridges? Thereare no bridges being built. Harbours? There are noharbours being built," he said.He said part of the problem was that foreigngovernments were waiting for his agency to be up andrunning before handing out the billions of dollarsthey had pledged.Defenders of the aid effort say they are doing theirbest in the face of overwhelming suffering. They saythey need to move with deliberation to avoidmisdirected or duplicated assistance.The BBC's Tim Johnston in the Indonesian capital,Jakarta, says Mr Mangkusubroto's comments echo theincreasing frustration of many Acehnese at what theyfeel is the relatively slow pace of reconstruction.More than 165,00 people died or are assumed dead inAceh, as a result of the earthquake and tsunami. Afurther 600,000 were left homeless.In total, some $10bn has been pledged for relief andreconstruction for the countries around the IndianOcean, and the bulk of that money is expected to go toIndonesia, the hardest-hit country.Situation 'shocking'Mr Mangkusubroto, who took up his position just over aweek ago, accused the Indonesian government ofdragging its feet."There is no sense of urgency," he said.Mr Mangkusubroto, who has just visited Aceh, said thesituation there was "shocking"."There is not enough food for the kids... at leastthere should be some food."He said the key to the problem was co-ordination, andhe promised to provide the needed direction.And he pledged to take a tough stand towards anyone inhis agency found misusing funds, saying they would besubject to double penalties under Indonesian law,including prison terms.(BBC)