Saturday, November 15, 2008

Pil Kada, Pil Pahit, Pil Majapahit

PARA peniup serunee kalee bersama penabuh rapa’i semakin menggencarkan frekuensi rentaknya, mengiringi dendang para propagandis yang melantunkan hikayat ular untuk menidurkan rakyat dari kenyataan, yaitu dengan menghadirkan beragam mimpi baru mereka.



"...proses peradilan HAM sepertinya coba ditenggalamkan oleh ketiga pihak baik itu AMM, Indonesia maupun GAM. Kesemua persoalan tersebut adalah magma yang menggumpal dalam kubah gunung api yang ledakannya tinggal menghitung hari"





Sementara di luar sana, di dalam realiti bermacam persoalan masih terus meruncing. Pertama, terkait masalah pembangunan kembali Acheh dari dampak bencana tsunami yang sudah berjalan hampir dua tahun, mau pun hal pengelolaan bantuan internasional yang masih pada tingkat mengecewakan.

Kedua, adalah persoalan yang menyangkut penerapan MoU Helsinki. Permasalahan akan semakin rumit apabila AMM meninggalkan Aceh bulan depan. Persoalan re-integrasi itu mencakup para clandestine dan bekas kombatan, UUPA yang jauh dari MoU, amnesti yang masih tersisa, rehabilitasi korban perang dan kejahatan kolonial dan impuniti.

Terakhir yang teramat penting adalah proses peradilan HAM, yang sepertinya coba ditenggalamkan oleh ketiga pihak baik itu AMM, Indonesia maupun GAM. Kesemua persoalan tersebut adalah magma yang menggumpal dalam kubah gunung api yang ledakannya tinggal menghitung hari.
••
Kembali ke persoalan Pil Kada, begitu hausnya keinginan di antara banyak pihak tersebut untuk menjadi Viceroys (baca: para representative kolonial), maka pelbagai persoalan kritikal yang seharusnya menjadi perhatian semua pihak pada saat ini merasa perlu dikesampingkan untuk sementara waktu. Bahkan di kalangan GAM oligarki, yang pada dasarnya adalah salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam memperjuangkan perwujudan pemerintahan sendiri (baca: otonomi) seperti mereka janjikan kepada rakyat, saat ini cenderung tak ambil peduli. Kerangka hukum, yang katanya, menjadi suatu jaminan di mana rakyat Aceh dapat hidup damai dan berkuasa atas tanah sendiri lewat UUPA dibiarkan dalam keadaan tidak menentu.

Mereka lebih sibuk menopang para kandidat viceroy-nya, dan berkeyakinan atau setidaknya dapat meyakinkan rakyat jelata jika dari kalangan mereka kelak terpilih menjadi tuan Demang, maka segala persoalan yang melilit rakyat akan segera sirna oleh kekuatan politik magik yang mereka miliki nantinya.

Tetapi di sebalik itu, ada pihak yang berpendapat bahwa kegagalan oligarki GAM untuk menyelamatkan draft UUPA dari guntingan pihak kolonial adalah disebabkan oleh sebagian besar elit kelompok itu telah terjual dari awalnya. Celakanya lagi, ketika penyaluran dana integrasi tersumbat—yang mungkin disengaja ataupun menguap— maka rasa tidak puas dari bekas sipil dan prajurit GAM di tingkat bawahan, telah memutuskan garis komando. Sehingga di mata Jakarta, yang tersisa dari kelompok elit oligarki tadi adalah para singa tua tak bergigi yang sudah tidak pantas lagi untuk dihidangkan daging segar.

Akibat dari situasi ini, maka terjadilah kompromi politik yang lebih layak disebut suatu kolaborasi untuk tidak mempersoalkan peradilan HAM, atau meneruskan penyempurnaan UUPA. Jadi solusi ini dianggap yang terbaik oleh kedua pihak. Di mana pihak kolonial dapat terhindar dari kehilangan porsi kekuasaannya yang besar terhadap Acheh dan berhasil melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai pelaku kejahatan kemanusian yang telah mengorbankan ribuan jiwa rakyat Acheh. Sementara itu di lain pihak, para elit oligarki GAM melalui kolaborasi ini menyangka dapat terhindar dari keruntuhan kredibilitas, sehingga dapat terus menggenggam kuasa oligarkinya, meskipun pada hakikatnya, kekuatan mereka yang sebenarnya telahpun sirna.

*

"Masih juga terdengar di perkampungan seantero Acheh di mana mimpi terus dirajut, yang membuat banyak Do Kaha terhanyut dalam kepulan asap rukok ôn dan aroma kopi pancông. Setelah jargon tinggal sebatang rokok serta platform otonomi atau self-government gaya Hongkong tak kunjung menjadi kenyataan"

"



Masih juga terdengar di perkampungan seantero Acheh di mana mimpi terus dirajut, yang membuat banyak Do Kaha terhanyut dalam kepulan asap rukok ôn dan aroma kopi pancông. Setelah jargon tinggal sebatang rokok serta platform otonomi atau self-government gaya Hongkong tak kunjung menjadi kenyataan. Rakyat belum sempat bertanya di mana logika “projek 2009” itu akan berhasil, pihak yang mengaku pemimpin kaum pejuang tersebut dengan lantang bersabda: Wahai bangsaku yang tercinta, marilah kita telan Pil KADA yang sudah tersedia di depan mata, sambil kita menanti kehadiran partai lokal yang akan membawa kita ke tangga kebebasan!

Adakah rakyat Acheh percaya dengan pernyataan kalimat-kalimat bersayap yang memberi harap untuk suatu perubahan kelak? Saya dipahami di mana rakyat dan generasi muda Acheh yang dibesarkan dengan fakta politik golongan dan parsial, sudah ditempa oleh suatu kondisi yang membuat mereka cenderung peka dalam melihat masalah. Tetapi di sana ada pihak yang masih menyimpan harap semoga saja penyakit mereka akan reda setelah meminum salah satu jenis dari Pil Kada itu. Dan tentu saja akan ada pihak yang dipaksa meneguk Pil yang sejauh ini kelihatannya lebih banyak kadar pahit daripada mujarab.
••
Adapun yang menjadi sumber keraguan banyak pihak di Acheh, adalah dengan hadirnya para calon independen, yang sebagian mereka mengaku sebagai pejuang hak-hak rakyat dan tanah Aceh. Meskipun banyak di antara mereka adalah kaum oportunis yang selalu mencari celah untuk meraih kekuasaan dengan pemanfaatan momentum yang tepat. Ada juga kalangan bunglon yang warna politik dan komitmennya selalu dapat disesuaikan dengan warna politik penguasa di mana mereka menghidupkan dirinya. Serta kalangan yang pernah terlibat aktif dalam pergerakan kemerdekaan, tetapi akhirnya terkontaminasi dengan kekuasaan ketika mereka naik derajatnya dari aktivis ke tingkat elit politik.

Namun yang perlu di ingat, siapa saja yang di antara para kandidat dalam Pil Kada ini, pada hakikatnya adalah tidak akan mampu membawa perubahan terhadap rakyat Aceh. Sepenjang sistem yang akan mereka masuki adalah sebuah sistem kolonial dengan bungkus yang selalu diperbaharui.

Dengan kata lain, sistem tersebut adalah tak sama, perihal nama dan beberapa pasal yang coba ditulis dengan perkataan baru, tetapi secara keseluruhan, produk baru itu adalah sama dalam hal kewenangan seorang Viceroy yakni sebagai representative pusat kolonial yang dalam hal ini menjalankan perintah dari Tuan Menteri Dalam Negeri. Belum lagi jika kita tinjau dari sudut kepentingan sebuah daerah yang meskipun memiliki status hukum yang khas, tapi dapat diinjak atau ditiadakan jika berhadapan dengan klaim kepentingan nasional. Di sini, demokrasi dipakai oleh elite kolonial untuk melegalkan penindasan hak kelompok atas nama kepentingan bersama. Sudah tentu di Negara seperti Indonesia, kepentingan bersama itu sebenarnya itu adalah kepentingan gerombolan penguasa belaka.

*

"Rakyat belum sempat bertanya di mana logika “projek 2009” itu akan berhasil. Pihak yang mengaku pemimpin kaum pejuang tersebut dengan lantang bersabda: Wahai bangsaku yang tercinta, marilah kita telan Pil KADA yang sudah tersedia di depan mata, sambil kita menanti kehadiran partai lokal yang akan membawa kita ke tangga kebebasan!

"


••

Atas dasar itulah, maka saya perlu mengambi penuturan seorang kawan, yang menurutnya di masa lalu kita juga pernah punya beberapa gubernur yang dari sudut kemampuan intelektual, ketokohan, keimanan dan kerakyatan mereka jauh lebih baik dibandingkan para kandidat sekarang, sebut saja beberapa nama seperti Tgk. Daud Beureueh, Muzakir Walad, Majid Ibrahim dan Syamsuddin Mahmud. Akan tetapi di masa kekuasaan mereka, tidak ada suatu kesejahteraan yang dapat lahirkan. Penyebabnya adalah independensi mereka dalam menjalankan kepemimpinannya selalu dibatasi oleh tangan pusat kolonial, di samping juga adanya benturan (clash) antara kepentingan pusat dan daerah.

Oleh sebab itu, berdasarkan keseluruhan analisa di atas, sebaiknya rakyat Acheh lebih memfokuskan pada penganggalangan civil force untuk suatu kelanjutan resistansi perjuangan di masa mendatang, daripada terlalu berharap pada kemujaraban Pil Kada, yang tidak lain adalah butiran Pil Pahit bagi mereka. Lebih berbahaya lagi jika itu adalah Pil Majapahit, yang jika tertelan maka kekuatan kolonialisasi bukan hanya akan berhasil mengontrol kehidupan politik, tapi akan membuka lapangan untuk menempatkan seluruh sendi kehidupan rakyat Acheh sebagai objek kekuasaan yang tanpa batas.
*Penulis adalah mahasiswa di The New School University, New York.

No comments: