Saturday, November 15, 2008

Ketika wartawan di-RUMAH-kan

Ada yang menarik dari berita Modus Acheh edisi pertama bulan ini. Katanya, sebagian wartawan PWI akan menerima rumah kedua mereka dari BRR. Setelah sebelumnya mendapatkan rumah bantuan dari organisasi lain.

Saya angkat salut kepada redaksi media itu yang berusaha menguak prilaku hedonistik para pengurus PWI dengan maksud ingin 'mengolah' dana BRR untuk anggotanya. Mungkin karena itu pula banyak wartawan yang tetap bersetia kepada PWI. Daripada menjadi anggota persatuan journalis lain, seperti AJI misalnya, yang lebih bersih dan independen. Bahkan kalau dikaji lebih dalam, wartawan di masa ini semestinya menjauhi PWI. Karena organisasi itu adalah underbow rejim Orde Baru Soeharto untuk mengekang kebebasan media dan journalis.

Masalah yang disorot Modus adalah sangat penting, mempersoalkan antara yang berhak dengan yang tidak. Jika mereka itu korban tsunami yang rumah mereka hancur diterjang gempa dan gelombang dahsyat waktu itu, maka seperti para korban lainnya mereka sangat berhak mendapatkan bantuan BRR. Tapi perlu diingat, ianya tidak boleh melebihi hak mereka, karena masih banyak rakyat jelata yang lebih susah daripada sang wartawan yang punya penghasilan.

Selanjutnya, apakah para journalis PWI yang sebelum tsunami dulu adalah penyewa sekarang perlu diberi kepemilikan rumah dari dana BRR? Tentu saja tidak dengan dana BRR yang peruntukannya lebih kepada untuk membiayai pembangunan kembali pemilik rumah yang terkorban. Akan tetapi, sekiranya organisasi itu ingin membantu anggotanya yang belum punya rumah dan mereka memang tidak punya rumah sebelum tsunami, adalah sah saja. Sepanjang dana yang digunakan itu milik organisasi tersebut. Bukan dengan mengambil jatah mereka yang lebih berhak untuk membantu kelompoknya sendiri. Apalagi dengan menggunakan pengaruh atau kuasa. Selain melanggar hukum, di sini persoalan moral menjadi rujukan penting, dan kita tahu jika seseorang insan press itu memenuhi syarat untuk dipanggil journalis atau wartawan, adalah mereka yang memiliki moral integriti. Kealpaan moral akan meragukan kredibiliti hasil karya journalistik yang mereka sampaikan.

Mengenang masalah moral dan kewibawaan PWI adalah suatu perkara penyalahgunaan pengaruh dan kuasa yang berkepanjangan. Dulu kita dipahamkan para pengurus dan anggota sering menerima 'jatah' sosial dari PEMDA untuk hari meugang dan hari raya, serta berbagai bantuan kesejahteraan. Menjadi pertanyaan di sini apakah anggota PWI itu bekerja untuk PEMDA? Jika tidak, kenapa mereka perlu diberikan bantuan dari dana daerah? Bukan hanya itu, untuk operasional, bangunan dan musyawarah organisasi juga menggunakan fasiliti milik pemerintah daerah. Sedangkan di Acheh masih sangat banyak fakir miskin dan para anak terlantar yang lebih berhak menerima dana daerah.

BRR dalam perkara ini dapat disebut sedang menjalankan suatu kolusi untuk meredam para wartawan dari organisasi itu. Dengan demikian, maka tak ada lagi laporan miring tentang kinerja pengelola uang 'takziah' rakyat Acheh tersebut. Karena wartawan PWI akan 'dirumahkan' oleh mereka.

Namun yang menggelikan adalah jawaban ketua PWI Acheh kepada journalis Modus. "Jika anda orang Aceh, saya juga orang Aceh. Inikan kita sudah di bantu oleh orang. Sudah dibantu, kita ganggu lagi. Kalau begini, maka Aceh tak akan aman." Kata Dahlan TH seperti dikutip Modus.

Selain menggelikan bin membingungkan, ianya juga mengingatkan kita bahwa 'kureng' PWI Orde Baru masih melekat pada diri ketuanya. Seperti kebijakan PWI yang selalu menutup transparansi press untuk persoalan penting yang harus diketahui publik, yaitu dengan menciptakan berbagai alasan yang tak masuk akal. Apa kena mengena antara membuka perkara korupsi dengan keamanan Acheh? Mungkin yang tidak aman itu adalah pengurus PWI dan anggotanya yang akan menerima rumah kedua, atau yang tidak berhak menerima sama sekali. Itu sangat beralasan, karena rakyat Acheh akan mengetahui para anggota PWI tersebut telah merampok hak mereka, lalu rakyat akan menyita rumah-rumah itu untuk mereka jadikan balai musyawarah atau pusat komuniti.

Rekan Dahlan! bantuan rumah itu bukan dibantu orang seperti yang anda sebutkan, tetapi oleh BRR yang mengelola uang bantuan korban tsunami. Orang siapa yang anda maksud? Kuntoro? Saya tak yakin kalau tuan PiKun itu rela mengeluarkan uang pribadinya untuk membangun rumah wartawan. Malah ia sendiri menerima gaji yang sangat besar dari BRR tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Persoalan penyalahgunaan bantuan BRR bukan yang pertama kali, kalau media mahu lebih jujur kita akan terpana melihat betapa uang hak milik korban dirampas oleh para begundal. Dari mulai pegawai negeri sampai ke militer. Berapa banyak asrama dan fasiliti militer di seluruh Acheh dibangun dengan dana BRR. Bahkan untuk membeli senjata TNI sekalipun diraup dari uang takziah. Padahal kekuatan militer itulah yang menutup pintu Acheh kepada bantuan global sampai tiga hari setelah tsunami, yang akhirnya terpaksa dibuka setelah mendapat tekanan internasional komuniti.

Situasi Acheh saat ini membutuhkan transparansi untuk meningkatkan taraf demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Di mana journalis adalah ujung tombak dalam projek ini. Sungguh merupakan petaka jika mereka yang diharapkan bermoral tinggi untuk aktiv dalam misi kontrol sosial akhirnya banyak yang menjadi pihak yang terlibat dalam transaksi moral dan terkena penyakit asosial.

No comments: