Saturday, November 15, 2008

Alkisah Irwandi Yusuf dan Lampu Aladin

Entah apa yang terlintas di benaknya ketika itu, sehingga beberapa waktu lalu Demang Ibrahim Hasan, eh salah, Irwandi Yusuf, terjaga dari khayalan hikayat 1001 malam.


”Merubah Acheh tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena kita bukan Aladin dengan lampu wasiatnya, semuanya butuh proses dan waktu,” kata sang Demang.

Pengakuannya itu menunjukkan jikalau ia sudah terjaga dari lamunan panjangnya selama ini. Tapi sayang, ia baru menyadari yang sebenarnya dia tidak sedang menjadi seorang Aladin yang melayang di angkasa dengan permadani terbang, sewaktu rakyat telah dilelapkan dengan mimpi menaiki kapal self-government. Dulu ia bercerita kapal self-government itu laksana kapal luar angkasa Enterprise yang kita lihat di film Star Trek, dan ia adalah kapten yang akan membawa rakyat Acheh menjelajah jagad raya dengan bebas lepas. Kini diakui atau tidak kapal self-government itu hanya terkurung di dalam kolam yang kecil yang dibatasi oleh ranjau yang di pasang pihak kolonial Indonesia.

Irwandi Yusuf dan GAM oligarkhi memang tak pernah berhenti menghadirkan khayal di atas khayal, imitasi di atas imitasi atau copy di atas copy, yang dikenal dengan simulacra (baca: simulakra) dalam theori Jean Baudrillard.

Konsep tersebut sering digunakan oleh rejim yang tidak jujur dalam memerintah, yang bertujuan untuk mengaburkan perasaan rakyat antara kenyataan dan impian atau antara sesuatu yang benar dengan yang tidak. Sehingga rakyat hilang keseimbangan berpikir, serta kehilangan titik sadar. Pada akhirnya mengaburkan sasaran kritik mereka terhadap rejim yang gagal, dan musnah pula kepekaan mereka terhadap ancaman sebenarnya yang sedang mereka hadapi.

Para bekas presiden bahkan presiden indonesia sekarang selalu membandingkan kualiti pemerintahan dan tingkat kesejahteraan rakyat di wilayah pendudukan indonesia dengan berbagai negara yang lebih miskin dengan kekayaan alam yang sangat minim. Perbandingan itu bertujuan agar membuat rakyat di nusantara hilang kesadaraan akan kekayaan yang mereka miliki, sehingga rakyat menerima dan pasrah pada keadaan serta terlena dengan kesusahan yang mereka derita.

Adalah suatu keanehan bila kita membandingkan wilayah Nusantara dengan Afrika atau negara Haiti yang saat ini terpaksa memakan roti yang terbuat dari tanah liat. Kita mempunyai cukup sumber energi dan makanan untuk diolah, sedangkan sumber alam Negara tersebut relatif terbatas.

Namun tak pernah sekalipun terdengar para penguasa berani membandingkan tingkat kemakmuran rakyat Acheh atau penduduk di berbagai tempat di Nusantara dengan negara makmur seperti Norwegia, yang permukaan tanahnya dipenuhi gunung batu dan salju di musim dingin. Ini tidak akan terjadi, karena mengambil perbandingan sedemikian rupa adalah sama dengan menelanjangkan kebodohan pihak penguasa di hadapan rakyat.

Begitupun dengan Viceroy Irwandi, sebagaimana pernyataannya di atas, semua pun tahu ia hanyalah seorang dokter hewan dan manusia biasa, meskipun di masa pemilihan dulu ia mengaku sebagai Hercules atau Aladin yang akan merubah Acheh dengan kuasa gaibnya. Malah sekiranya ia adalah manusia yang luar biasa sekalipun, baik dari segi manajemen kepemimpinan maupun tingkat IQ, juga akan bernasib sama dengan bekas para Gubernur Jenderal yang pernah berkuasa di Acheh dulu. Sebab mereka telah digagalkan oleh sistem pemerintahan carut-marut kolonial Indonesia. Sistem yang tidak berubah sampai sekarang, sekalipun itu dinamakan Pemerintah Acheh dengan balutan self-government.

No comments: